Sebut Saja Epilog

Pagi kedua di tanggal 31 Desember. Pagi kedua dan semoga tahun depan akan menjadi pagi pertama lagi dengan hati yang lebih utuh pula. Mari mengulang semuanya dari awal.

Dua tahun, genap jatuh di hari ini. Hari yang tidak bersalah ini harus ditumpahi kekecewaanku. Bukan, aku bukannya kecewa padamu, wahai hari. Melainkan aku kecewa pada dia yang singgah di suatu waktu tepat hari ini dua tahun yang lalu. Inginku untuk tidak mengenang apa yang pernah terjadi, sehingga aku bisa melalui waktu di hari ini dengan senyum penuh. Tak pentinglah aku mengenang dia di hari ini. Dia pergi dan tak pernah mengingat apa yang terjadi di hari ini, bahkan ia tak pernah memasukkan hal ini ke memorinya. Mari biarkan hal ini menjadi debu.

Pagi kedua ini sekaligus akan menjadi pagi pertama aku benar-benar melewatkannya. Tak akan peduli pada kisah apapun yang mungkin dia tulis. Bersama siapapun, silakan. Karena kini aku pun tengah membuat prolog untuk kisah baru yang aku yakin lebih indah karena ada seseorang yang akan menemaniku berkisah. Cerita bersamanya bahkan enggan untuk kubuatkan epilog. Aku lebih memilih  menekan ‘ctrl+A’, delete, kemudian ‘ctrl+S’. Sehingga aku menyimpan kisah dengannya dalam bentuk halaman kosong.

Baiklah, selamat tinggal seseorang yang kerap kusebut foxtrot.

*Foxtrot merupakan sebutan untuk menjelaskan huruf F.

Move On!

“Karena ada hal lain yang lebih bijak daripada mengenang: membuat cerita baru yang lebih indah.”

nurun ala

Jejak terlanjur terpacak.

Kamu mesti kubur kamu punya luka. Nanti jadi duka, jadi murka. Malammu jadi persinggahan terakhir bagi semua kawanan rindu yang telah lelah menggapai-gapai apa yang tak tergapai. Diammu tidak akan menginfeksi udara. Jadi malam ini, jangan kamu bersuara. Malam ini saja. Agar tiada tambah akut kamu punya luka.

Berjalan. Berhenti. Berjalan lagi. Hidup adalah tentang keseimbangan. Tidakkah apa-apa yang tersembunyi di depan membuatmu penasaran?

Jejak terlanjur terpacak.

View original post 163 more words

Kesempatan Meragu

Kesempatan itu kini ada di hadapan. Semakin mendekat, seolah ia menanti tak sabar untuk kugenggam. Kesempatan itu sekarang hadir di depan mata. Menatap manis seperti biasa, yang lalu pun begitu. Tapi aku gugup. Ini tak ada yg salah, tapi aku ragu. Apalagi yang harus dipertanyakan jika semua hal ini tampak teramat jelas.
Aku kini hanya butuh kesempatan itu meyakinkanku sekadarnya. Tak perlu berlebihan, aku tak suka. Seadanya saja. Karena aku ingin ia mengalir ringan tanpa paksaan.
Inilah cara lain yang aku pilih untuk melupakan dia: menentukan alur lain yang lebih menawan.

Silakan Menyudahi

Inilah maksud dari frasa, “ini diudahin aja ya, teh…” yang kamu sampaikan. Ternyata maksud ‘sudah’ yaitu benar-benar sudah, yang artinya kamu ingin berhenti. Mungkin kamu lelah. Padahal aku pun sama. Kamu bingung mengungkapkan semua perasaan yang ada dipikiranmu. Dan kamu nyatakan bahwa semua ini salah. Ya, memang salah! Karena perasaan itu harusnya bersemayam di hati. Pikiran tak perlu mengambil alih tempatnya.

Jika kamu lelah, aku pun sama. Aku lelah mengartikan bahasamu. Bahasa lisan dan kalbumu. Frasa yang kamu gunakan selalu bermakna konotasi. Aku yakin, pujangga pun akan sulit menangkap makna yang terkandung di sana. Lalu, aku yang bukan pujangga, yang bukan ahli tata bahasa, mana mungkinlah aku paham tujuanmu. Sehingga pada akhirnya aku hanya sibuk menerka-nerka, sibuk menduga-duga.

Kemudian kini, kamu bilang ingin menyudahi kelelahan yang melelahkan ini. Harusnya diksi ‘menyudahi’ hanya digunakan jika ada diksi ‘memulai’ sebelumnya. Sedangkan ini, menyudahi apa? Memang apa yang telah kita mulai? Kamu bahkan belum berani memulai apa pun denganku.

Jika kamu ingin menyudahi hal absurd ini, aku pun sama. Jika makna ‘sudah’-mu berarti memang ‘sudah’… tidak denganku. Aku memang lelah dengan keambiguan ini, maka aku ingin kamu menjelaskan sejelas-jelasnya. Yang seharusnya kamu pilih bukannya ‘menyudahi’, melainkan ‘menjelaskan’. Setelah itu, kita bisa memilih kata ‘mulai’ berdua, dengan hati yang menggenggam satu sama lain.

Tapi, jika ‘sudah’ merupakan pilihan terakhirmu, baiklah… aku tidak berhak menghalangi, apalagi melarang. Aku tidak berhak mempertahankan suatu hal yang hendak disudahi. Jadi, ya sudah. Silakan menyudahi.