Kepada Pemilik Hatiku

Assalamu’alaikum…

Dear husband of mine,

Apa yang terasa di hati kadang sulit untuk dituangkan dalam kata. Kubilang, “Aku mencintaimu“, namun Abang perlu tahu apa yang kurasakan lebih dari itu. Bukan sekedar cinta, namun juga perasaan sayang, ingin melindungi, juga resah jika tak ada kabar walau sebentar. Posesif? Tidak. Perempuan hanya ingin memastikan lelakinya baik-baik saja. Bukan posesif, lebih kepada rindu.

Bang, terima kasih selama dua tahun ini telah menjadi tempat ternyaman untukku bersandar. Tempat mengadukan segala suka, duka, dan gundah. Semua kelemahan dan rahasiaku, tak ada satupun yang tak Abang ketahui. Itu bisa saja menjadi senjata untuk melukaiku, namun tak pernah kutemui Abang begitu. Abang menyimpannya rapat dan berupaya mengubahnya menjadi kekuatanku.

Bang, pasti tak mudah bagi Abang untuk mendampingiku, berjalan beriringan denganku. Perempuan yang tak punya apa-apa, cuma modal cinta dan keberanian seperti para pujangga. Perempuan yang mudah tersinggung, pesimis, dan kadang pembantah. Perempuan yang terkadang ketika Abang lelah, malah cemberut, bukannya membantu melepas penat. Maaf…

Bang, terima kasih atas berjuta kesabaran yang tertumpah ruah untukku. Aku mesti banyak belajar sabar darimu. Terima kasih telah memberiku kesempatan yang begitu lapang untuk menuntut ilmu. Terima kasih atas ridhomu yang sebisa mungkin tak memberatkanku. Terima kasih, terima kasih.

Maaf jika selama ini belum bisa menjadi istri sholehah buatmu, ibu yang sabar buat Musa, menantu yang baik buat mamah, dan maaf atas segala ketidaksempurnaanku. Aku sedang belajar meningkatkan ketaatanku sebagai istrimu, ‘kan kubuat bidadari surga itu cemburu padaku.

Bang, semoga kita dapat terus merajut cinta hingga waktu yang tak terhingga. Menjadi pasangan yang selalu saling memperjuangkan. Menjadi kekasih yang selalu saling menyayangi. Menjadi teman yang selalu saling berbagi.

Bang, aku bahagia menjadi milikmu.
Salam cinta menuju sore, duhai pemilik hati.

-Istrimu

Tahun Ketiga

​Hari ini kita tiba di tahun ketiga semenjak pertemuan pertama kita dulu. Pertemuan pertama dengan suasana yang dingin dan kaku dariku namun hangat dan ramah darimu. Dari situlah pertemuan-pertemuan selanjutnya tercipta.

Di tahun ketiga ini rupanya banyak hal yang telah terjadi. Aku kini sedang menatapmu yang sedang tertidur pulas disampingku, suamiku. Baru hampir dua bulan lalu, kita berjanji di hadapan Allah untuk saling menjaga dalam ikatan suami istri, yang berarti orang pertama yang harus selalu aku utamakan adalah kamu, suamiku. Begitupun untukmu, tanggung jawabmu bertambah bukan hanya ibumu, kini ada aku sebagai istrimu dan kemudian anak-anak kita kelak. Peran baru yang tidak mudah, ya. Harusnya sih aku tidak perlu kaget, karena buku, artikel, orang tua, hingga kerabat yang telah menikah memang bilang begitu. Namun nyatanya aku baru benar-benar percaya setelah aku mulai menjalaninya.

Sebelum menikah pun aku tahu, bahwa kita sangat banyak perbedaan, ISFJ bertemu ENTP bukan hal yang mudah untuk dijalani. Namun, setelah menikah, perbedaan-perbedaan kita semakin kentara. Mulai dari preferensi dalam memilih makanan, minuman, jenis film, gaya berpakaian, pola pikir, cara menyampaikan kritik dan pendapat, hingga cara tidur pun kita berbeda. Perbedaan sekecil apa pun itulah yang bisa saja menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran kecil. Intinya aku harus lebih bersabar dan mengerti. Namun, kamu pasti yang kesabarannya harus ekstra dalam menghadapiku. Maaf yaa

Menjadi suami istri secara tidak langsung kita membandingkan pasangan dengan orang tua kita masing-masing. Kamu yang secara sadar atau tidak ingin aku menjadi istri yang ‘seperti ibumu’, begitupun aku yang secara sadar atau tidak ingin kamu menjadi suami yang dalam beberapa hal ‘seperti bapak’. Namun dua orang berbeda tidak mungkin menjadi orang persis sama, kan? Suatu hal yang berbeda bukan berarti salah satunya baik sedangkan yang satu lainnya buruk, bukan? Bisa saja keduanya itu baik namun menempuh kebaikan tersebut dengan cara berbeda.

Bulan dan tahun-tahun berikutnya mungkin ujian akan datang lebih banyak. Kita buktikan bahwa kita mampu, ya. Kita harus menggenggam dan memeluk lebih erat lagi, serta berdoa lebih ‘nyaring’ lagi agar kita dikuatkan dan dimampukan dalam segala hal. Aamiin.

Terima kasih ya, sudah mau lelah dan bekerja keras untukku. Kamu hebat, dan aku beruntung memilikimu. Maaf untuk berjuta kekuranganku sebagai istrimu, aku akan berusaha lebih semangat lagi.

I love you, Suami.
Jakarta, 14-02-17

Istri–