Resensi – Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade

Judul buku : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis : Dewi ‘Dee’ Lestari
Penerbit : Truedee Books dan GagasMedia
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 134
No. ISBN : 979-96257-3-4

Image Buku Filosofi Kopi ini merupakan buku yang berisi kumpulan 18 cerpen dan prosa yang ditulis Dee selama satu dekade (tahun 1995 hingga 2005). Buku ini dianugerahi sebagai karya sastra terbaik tahun 2006 oleh majalah Tempo. Pada tahun yang sama, Filosofi Kopi juga berhasil dinobatkan menjadi 5 Besar Khatulistiwa Award kategori fiksi. Filosofi Kopi sendiri merupakan judul dari salah satu cerpen, yang penulis jadikan sebagai cerita pembuka dalam buku ini.

Filosofi Kopi bercerita tentang dua orang pemuda bernama Ben dan Jody yang memulai usaha kedai kopinya dari nol. Usaha dan kegigihan mereka membuat kedainya menjadi incaran para pecinta kopi dari berbagai daerah. Ben yang bertugas sebagai peramu kopi sangat tergila-gila pada kopi, dan ia yakin bahwa setiap jenis kopi memiliki filosofi tersendiri. Maka dari itu, ia yang telah menjelajahi semua jenis kopi dari berbagai negara, membuat filosofi untuk setiap kopi racikannya. Selain rasanya yang nikmat, hal inilah yang menjadikan kedai kopi yang mereka namai Filosofi Kopi diminati oleh banyak orang. Selain itu, Ben membuat kartu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunjung, yang bertuliskan nama kopi yang diminum dan keterangan filosofinya.

Suatu hari datang salah seorang pria pecinta kopi yang memberikan tantangan kepada Ben untuk menciptakan kopi yang apabila diminum akan membuat peminumnya menahan napas dan hanya bisa berkata: hidup ini sempurna. Apabila Ben dapat menciptakan kopi sempurna sesuai keinginannya, maka ia akan memberikan uang sebesar Rp50 juta kepada Ben. Ben yang ambisius tentu saja menerima tantangan tersebut. Kerja kerasnya selama beberapa minggu membuahkan hasil. Kemudian Ben menamai kopi tersebut “BEN’s PERFECTO”.

Pagi-pagi sekali Ben menelepon penantangnya dan akhirnya ia datang pada sore hari. Disaksikan semua pelanggan, Ben menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto. Pria itu menyeruput perlahan, setelah beberapa saat, ia berkata, “hidup ini sempurna”. Kedai kopi tersebut pun dipenuhi tepuk tangan pelanggan yang lain. Kemudian pria itu mengeluarkan selembar cek kepada Ben dan berkata, “Selamat. Kopi ini perfect. Sempurna.” Minuman tersebut menjadi menu favorit semua langganan, sehingga omzet yang diraih pun meningkat.

Di suatu pagi, datang seorang pengunjung baru ke Filosofi Kopi. Jody langsung menyambutnya dan merekomendasikan Ben’s Perfecto kepada tamunya. Ia setuju. Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto. Lalu ia menanyakan pendapat tamu tersebut. Dengan wajah datar, tamu tersebut hanya menjawab, “lumayan” jika dibandingkan kopi yang pernah dicicipinya di suatu tempat di Jawa Tengah.

Untuk memenuhi rasa keingintahuannya, Ben dan Jody langsung menuju lokasi tersebut dan mereka menemukan secangkir kopi tiwus yang disuguhkan oleh pemilik warung reot di daerah tersebut. Ben dan Jody meminum kopi tersebut tanpa berbicara sedikitpun. Kopi tersebut memiliki rasa yang jauh lebih sempurna dibandingkan Ben’s Perfecto. Ben yang merasa gagal kembali ke Jakarta dan putus asa. Untuk mencari tahu cara menghibur temannya, Jody kembali menemui pemilik warung tersebut dan sepulangnya dari sana, dia menghidangkan Ben segelas Kopi Tiwus. Bersamaan dengan kopi tersebut, dia memberikan sebuah kartu bertuliskan “Kopi yang Anda minum hari ini Adalah: “Kopi Tiwus. Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya”. Pada akhirnya Ben sadar bahwa hidup ini tidak ada yang sempurna. Semangat Ben pun kembali tumbuh dan melanjutkan perjuangan serta hobinya di kedai Filosofi Kopi.

Jika dibandingkan dengan cerpen yang lain, Filosofi Kopi-lah yang paling saya sukai. Ceritanya sungguh menarik dan mengandung pesan yang sangat dalam. Selain cerita tentang Ben, sang peramu kopi, terdapat karya-karya lain yang bercerita tentang pencarian cinta sejati, cinta bertepuk sebelah tangan, melupakan masa lalu dengan sikat gigi, persahabatan, kisah cinta dari sudut pandang kecoa.

Buku ini berisi kata-kata yang tidak begitu saja dimengerti. Sehingga untuk mendalami cerita dan prosa ini, pembacanya harus cukup berpikir. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Rectoverso yang pernah saya baca sebelumnya, Filosofi Kopi masih termasuk bacaan yang lebih ringan. Namun tetap saja terdapat beberapa karya yang menurut saya membingungkan, sebab dikemas dalam prosa yang berbentuk puisi, atau sebaliknya. Satu kelemahan lainnya adalah di cover buku tersebut yang menurut saya kurang menarik minat baca para remaja.